Pengampunan diantara Sengatan

Oleh: Silvester Deni

Di sebuah desa kecil di tepi sungai yang mengalir malas, hiduplah seorang lelaki bernama Jaka. Tubuhnya kurus, otot-otot kecilnya seperti tali yang rapuh, mengingatkan orang pada kerja keras yang tak henti-henti. Kulitnya gelap, terbakar matahari, tanda hari-hari panjang mencangkul ladang dan menanam padi, pekerjaan yang seolah jadi takdirnya.

Rambut Jaka keriting dan berantakan. Ia membiarkannya begitu saja karena baginya, tak ada gunanya memikirkan hal kecil seperti itu. Hidupnya sudah penuh dengan memahami hal besar yang sulit. Setiap pagi, ia bangun, mencangkul tanah, menanam benih, dan melihat matahari naik ke langit. Setiap sore, ia pulang dengan tubuh lelah, hanya untuk mengulanginya lagi esok hari.

Kadang-kadang, saat mencangkul, Jaka berpikir, “Untuk apa semua ini?” Tapi ia tak pernah menemukan jawabannya. Hidup baginya seperti permainan yang aneh. Ia bekerja keras, menanam padi. Tetapi selalu saja ia merasa lapar, seolah ia menggarap ladang yang lebih lapar daripada dirinya sendiri.

Jaka sering menertawakan dirinya sendiri di malam hari. Tawa yang pahit. Bukan karena ia bahagia, tetapi karena ia menyadari, hidup ini seperti lelucon yang tak lucu. Ia bekerja dari pagi sampai petang, tetapi apa yang ia dapat? Sebatas cukup untuk bertahan hidup. “Mungkin begini saja hidupku,” gumamnya. “Seperti tanah ini, menunggu hujan yang entah kapan datang.”

Tetapi Jaka terus melangkah. Meski tanah tak pernah mengucapkan terima kasih, meski hari-hari terasa sama saja, ia tetap mencangkul, menanam, dan menuai. Karena di dalam hatinya yang sederhana, Jaka tahu, tak ada pilihan lain. Hidup ini sudah begini, dan ia hanya menjalankannya, apa pun artinya.

Setiap pagi, Jaka bangun sebelum matahari sempat menguap embun di daun pisang. Dengan langkah kecil yang lebih mirip ritual kuno, ia berjalan menuju sawah—tanah yang seolah punya hubungan cinta-benci dengannya. Kakinya penuh bekas luka, hadiah dari lintah dan duri yang entah kenapa selalu lebih rajin daripada hasil panennya. Tapi Jaka, seperti seorang pahlawan tanpa medali, tidak pernah mengeluh.

“Tanah adalah sahabat,” katanya, mungkin untuk meyakinkan dirinya sendiri. Sahabat macam apa yang sering memberi janji, tapi hasilnya cuma cukup untuk makan sehari? Tapi Jaka tetap percaya. Ia mencangkul dan menanam seperti seorang pengikut setia, meskipun tanah itu sering kali pelit, menahan hasil seperti tetangga yang malas meminjamkan garam.

Namun Jaka tak pernah berhenti. Mungkin bukan karena optimisme, tapi karena apa lagi yang bisa ia lakukan? Sawah itu, meskipun tidak sempurna, tetap menjadi satu-satunya tempat di mana ia merasa penting, meski hanya untuk lintah-lintah yang terus berpesta di kakinya.

Jaka tinggal bersama istrinya, Rina, seorang gadis desa yang dinikahinya di usia yang terlalu muda. Ketika itu, Rina baru saja mengenal perubahan pada tubuhnya, baru pertama kali merasakan datang bulan, tanda awal bahwa ia perlahan menuju kematangan. Namun, kematangan itu tak pernah benar-benar sampai. Wajahnya yang cantik dengan pipi kemerahan khas remaja belum sempat mekar sepenuhnya, seperti bunga yang dipetik sebelum waktunya.

Tubuh Rina, yang dahulu memperlihatkan tanda-tanda hendak mengembang menjadi wanita dewasa dengan kemontokan alami, kini perlahan menyusut. Beban hidup, kerja keras, dan kurangnya gizi mengubahnya menjadi sosok yang kurus, seperti daun yang layu sebelum berkembang. Meski demikian, ada sesuatu yang tetap bercahaya dalam dirinya: senyum tipis yang ia sembunyikan di balik kerudungnya saat ia berbicara dengan Jaka, senyum yang penuh keikhlasan dan kesetiaan.

Rina tidak pernah mengeluh, meskipun hidup mereka serba kekurangan. Hari-harinya dihabiskan membantu Jaka di ladang, mengurus rumah yang beratapkan rumbia, dan menjaga anak-anak mereka—jika memang tak sedang hamil lagi, karena tubuhnya seolah tak pernah diberi jeda untuk pulih. Kadang, di malam yang sepi, ia menatap sungai dari jendela rumah mereka, memandangi bulan yang terapung di permukaannya, bertanya-tanya tentang hidup yang seolah menuntut terlalu banyak darinya. Namun, seperti Jaka, ia tetap bertahan.

Dari perkawinan sederhana yang tak pernah dirayakan dengan kemegahan, Jaka dan Rina kini telah dikaruniai dua anak. Si sulung, seorang laki-laki bernama Jontu, mewarisi kulit gelap ayahnya yang terbakar matahari. Sejak lahir, Jontu menunjukkan kemiripan yang kuat dengan Jaka—kulit gelap yang membalut tubuh mungilnya tampak seperti bayangan masa kecil ayahnya. Sementara si bungsu, seorang perempuan bernama Runus, mewarisi kulit cerah ibunya yang lembut, meski kini tampak sedikit pucat karena kehidupan keras yang mereka jalani.

Jarak kelahiran kedua anak itu hanya setahun. Ketika Jontu baru berusia tiga bulan, tubuh Rina yang belum sepenuhnya pulih sudah kembali mengandung. Kehamilan itu datang tanpa direncanakan, tetapi mereka menerimanya dengan pasrah, seperti setiap hal dalam hidup yang tak pernah benar-benar bisa mereka kendalikan.

Runus lahir saat Rina masih sibuk menggendong dan menyusui Jontu. Malam-malam mereka dipenuhi dengan tangis bayi yang bersahutan, dan Rina sering terjaga tanpa sempat benar-benar beristirahat. Tubuhnya yang kurus semakin terlihat ringkih, tapi tanggung jawab sebagai ibu membuatnya terus bertahan. Jaka, meski lelah sepulang dari sawah, mencoba membantu sebisanya—menggendong Jontu ketika Rina menyusui Runus, atau sekadar menenangkan tangis anak-anak mereka di tengah malam.

Kehidupan mereka sederhana, nyaris keras. Rumah kecil mereka yang berdiri di pinggir desa hanya dilengkapi dengan lampu minyak, dan setiap malam mereka hidup di bawah kerlip bintang dan suara jangkrik yang menjadi hiburan alami. Namun, di balik kesederhanaan itu, ada cinta yang mereka bagi. Jaka dan Rina tahu bahwa anak-anak mereka adalah anugerah, meski sering kali anugerah itu datang dengan tanggung jawab yang berat.

Pada suatu hari, Jaka memutuskan untuk memasuki hutan mencari madu. Dalam hati ia brpikir, untuk menambah penghasilan. Sambil menunggu padi menguning, madu dapatlah menjadi sumber penghasilan yang lain. Ia berjalan menyusuri jalan setapak yang sering dilalui orang-orang untuk mencari kayu bakar, menjerat hewan, dan mengambil madu. Jaka bukan satu-satunya yang mencari madu di hutan itu; banyak warga lain juga melakukannya.

Saat memasuki hutan, tidak berapa lama kemudian, Jaka mendekat ke pohon besar tempat sarang lebah menggantung. Asap dari obor kecilnya mengepul pelan, membuat lebah-lebah yang tadinya sibuk beterbangan mulai menjauh. Ia mendongak, memperkirakan cara terbaik untuk mencapai sarang itu tanpa melukai dirinya sendiri. Namun, baru saja ia hendak memanjat, langkah-langkah berat terdengar dari arah semak belukar di belakangnya.

“Jaka!” sebuah suara parau memanggil, diikuti tawa kasar. Jaka menoleh dan mendapati dua sosok muncul dari balik pepohonan. Ombal, lelaki bertubuh besar dengan kulit gelap penuh bekas luka, berjalan dengan parang tergantung di bahunya. Di sebelahnya, Logam, yang lebih kecil tapi tak kalah garang, membawa sebilah tombak pendek.

“Kami tidak menyangka bertemu kamu di sini,” kata Ombal, suaranya penuh nada mengejek. “Sepertinya hari ini kami akan mendapatkan madu tanpa perlu susah payah mencarinya.”

Jaka menghela napas dalam-dalam, mencoba menahan amarah. Ia tahu Ombal dan Logam, dua lelaki yang sering merampas hasil kerja orang lain di desa. Mereka terkenal suka memanfaatkan kelemahan orang lain dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk mendapatkan apa yang mereka mau.

“Aku yang menemukannya lebih dulu,” kata Jaka tegas, meskipun dalam hatinya ia merasa gugup. “Kalian tahu aturan. Hutan ini milik kita bersama, tapi yang menemukan lebih dulu berhak atas hasilnya.”

Ombal tertawa keras, suaranya menggema di antara pepohonan. “Aturan? Di sini, yang berkuasa adalah siapa yang lebih kuat, Jaka. Dan kamu tahu siapa itu.” Ia menggerakkan parang di bahunya, memberikan isyarat jelas.

Logam, yang lebih pendiam, mendekat ke pohon tempat sarang lebah tergantung. “Sarang ini cukup besar untuk kami bertiga,” katanya, meskipun jelas bahwa ia hanya mengatakan itu untuk meredakan ketegangan. Matanya terus menatap sarang lebah seperti sedang menilai nilainya.

Jaka tahu dia tak bisa melawan keduanya sendirian. Tapi ia juga tidak ingin menyerah begitu saja. “Kalau begitu, kita bagi tiga,” katanya dengan suara tenang, mencoba mencari jalan damai. “Kita semua pulang dengan sesuatu.”

Namun, Ombal menggeleng dengan kasar. “Tidak, Jaka. Kamu pulang dengan tangan kosong. Itu satu-satunya cara.”

Ketegangan di udara semakin terasa. Ombal mulai mendekat, dan Jaka sadar bahwa ini bukan hanya soal madu—ini soal mempertahankan harga dirinya. Ia meraih obornya dengan erat, bersiap jika Ombal atau Logam mencoba menyerangnya.

Jaka menggenggam erat obornya, hatinya bergejolak antara amarah dan kesadaran. Sesaat, ia membayangkan dirinya melawan Ombal dan Logam. Namun, pikiran itu segera tergantikan oleh bayangan Rina, istrinya yang ringkih, dan dua anak kecilnya, Jontu dan Runus, yang selalu menantikan kepulangannya dengan senyuman. Apa yang akan terjadi pada mereka jika ia terluka atau bahkan kehilangan nyawanya di tengah hutan ini?

Ia menarik napas panjang, menenangkan dirinya yang mendidih oleh emosi. Dengan tatapan tegas, ia memandang Ombal dan Logam, yang tampaknya sudah siap jika harus berkelahi.

“Ambil madunya,” kata Jaka, suaranya berat namun tenang. Ia meletakkan obor dan wadah bambunya di tanah, lalu mengulurkan tangan ke arah sarang lebah yang telah berhasil ia panjat. “Jika ini yang kalian mau, silakan. Aku akan mencari madu di tempat lain. Mungkin memang ini rezeki kalian, bukan milikku.”

Ombal tampak terkejut sesaat, namun senyum puas segera menghiasi wajahnya. “Bagus, Jaka. Kamu tahu bagaimana cara membuat keputusan yang bijak,” katanya sambil mengulurkan tangan untuk mengambil madu itu.

Logam, yang biasanya lebih pendiam, menatap Jaka dengan sedikit ragu. Ia tampak hendak mengatakan sesuatu, tetapi Ombal sudah bergerak maju untuk meraih hasil kerja keras Jaka.

Jaka perlahan mundur, menatap mereka dengan dingin. Meskipun ia menyerahkan madunya, hatinya tidak merasa kalah. Ia tahu bahwa ini bukan tentang menyerah, melainkan tentang menjaga dirinya tetap hidup untuk orang-orang yang ia cintai.

Sebelum pergi, ia menatap Ombal dan Logam sekali lagi. “Ingat satu hal,” katanya pelan, tapi cukup keras untuk didengar. “Madu ini akan habis, seperti segalanya di dunia ini. Tapi sikap kita akan meninggalkan jejak. Suatu hari, apa yang kalian ambil hari ini mungkin akan diminta kembali.”

Ombal tertawa keras, tidak peduli dengan kata-kata Jaka. “Terima kasih atas madunya, Jaka. Semoga berhasil mencari yang lain!” ejeknya sambil menggenggam sarang lebah penuh madu itu.

Jaka menghela napas, berbalik, dan mulai melangkah kembali ke arah hutan yang lebih dalam. Ia tahu tempat ini terlalu berbahaya untuk berlama-lama. Ia akan mencari tempat lain, mungkin lebih jauh, tetapi hatinya tetap teguh. Bagi Jaka, keberanian bukanlah soal menang atau kalah, melainkan soal memilih untuk tetap bertahan dan kembali ke rumah dalam keadaan utuh.

Jaka terus melangkah dengan langkah berat, meninggalkan Ombal dan Logam di belakangnya. Setiap langkah terasa seperti beban, hatinya terasa diiris oleh rasa kecewa dan ketidakberdayaan. Namun, di antara rasa pedih itu, ia mulai merenung. Hidup telah mengajarkannya bahwa tidak semua pertempuran harus dimenangkan dengan kekuatan. Ada kalanya menyerah bukan berarti kalah, tetapi menjaga sesuatu yang lebih berharga—keluarganya.

Semakin jauh ia melangkah, perasaannya yang semula berkecamuk mulai mereda. Ia mencoba mengingat kembali wajah Rina dan anak-anaknya, yang menunggu di rumah dengan penuh harap. Pikirannya mulai menerima kenyataan, meskipun hatinya masih terasa hampa.

Langkah-langkahnya membawanya ke sebuah tempat yang cukup tenang. Sebuah pohon besar dengan dahan-dahan yang rimbun berdiri kokoh di tengah hutan. Tanah di bawahnya kering dan bersih, seolah mengundang siapa saja untuk duduk dan beristirahat. Jaka memilih tempat itu untuk berhenti sejenak. Ia meletakkan wadah bambunya yang kosong, lalu duduk bersandar di batang pohon yang dingin dan teduh.

Angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya, membawa aroma hutan yang segar. Ia menutup matanya, membiarkan tubuhnya yang lelah merasakan ketenangan sejenak. Dalam keheningan itu, Jaka merenung.

“Apakah aku sudah membuat keputusan yang benar?” pikirnya. “Madu itu bisa membantu keluarga kami. Tapi… apakah lebih baik aku terluka demi sesuatu yang bisa dicari lagi?”

Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan mendengar suara-suara alam di sekitarnya: kicauan burung, gemerisik daun yang diterpa angin, dan jauh di kejauhan, suara aliran air sungai. Semua itu sedikit demi sedikit menenangkan hatinya.

Setelah beberapa saat, Jaka membuka matanya. Ia memperhatikan sekitarnya, kali ini bukan untuk mencari madu, tetapi untuk menikmati keindahan hutan yang jarang ia perhatikan. Di atas dahan pohon yang rindang, seekor tupai kecil melompat dengan lincah. Tidak jauh darinya, seekor burung warna-warni sedang sibuk mematuk buah kecil di semak belukar.

Hidup ini, pikir Jaka, seperti menanam padi di tanah yang tandus. Petani kecil seperti dirinya hanya bisa menabur benih dengan harapan, sementara nasib bertindak seperti cuaca—tak bisa ditebak, sering tak bersahabat.

Kadang, hujan datang terlalu deras, menggenangi sawah dan membawa benihnya hanyut entah ke mana. Kadang, panas matahari terlalu terik, membuat tanahnya retak seperti kulit tua yang kehausan. Dan di antara semua itu, ada burung-burung yang datang mencuri butir-butir padi, seperti orang-orang besar yang menghisap keuntungan tanpa pernah menanam sebutir pun.

Petani, seperti dirinya, hanya bisa menanti dengan sabar. Kalau hujan tak turun, ia menengadah ke langit dan berdoa. Kalau panen gagal, ia meremas tangannya yang kasar, menghibur diri dengan janji palsu bahwa musim depan pasti lebih baik.

“Hidup ini memang begitu,” gumamnya, “seperti menanam padi di tanah yang tak mau mengerti. Kita mencangkul, menanam, menyirami, tetapi akhirnya, yang memutuskan siapa yang kenyang bukanlah kita.”

Ia merasa seperti penggembala yang memelihara sapi gemuk, tapi susu dan dagingnya dinikmati oleh orang lain. Begitulah dunia ini bekerja. Yang kecil bekerja keras, yang besar menikmati hasilnya. Alam mengajarkan untuk menerima, tapi tidak pernah memberi petunjuk bagaimana cara melawan.

Di hutan sekali pun, Jaka menemukan kekejaman yang tak kalah tajam dari dunia luar. Di sana ada Ombal dan Logam, dua laki-laki yang tak mengenal kata hati. Mereka datang seperti angin ribut, membawa tangan-tangan rakus yang tak pernah merasa cukup.

Madu yang Jaka kumpulkan dengan susah payah—panjat-memanjat pohon tinggi, melawan sengatan lebah, hingga tangannya penuh luka—diambil begitu saja oleh mereka. Tanpa basa-basi, tanpa rasa malu, seperti serigala yang merebut hasil buruan kelinci.

“Mereka lebih kejam dari hutan itu sendiri,” pikir Jaka. Hutan setidaknya punya aturan: yang kuat bertahan, yang lemah menepi. Tapi Ombal dan Logam bukan bagian dari aturan itu. Mereka seperti tamu tak diundang yang merusak pesta, memetik manisnya madu tanpa pernah menanam kembang.

Jaka tak bisa melawan. Apa daya orang kecil seperti dirinya menghadapi mereka? Hatinya marah, tapi mulutnya bungkam. Hutan, yang biasanya menjadi tempatnya mencari ketenangan, kini terasa seperti sarang ular berbisa, penuh ancaman di setiap sudutnya.

“Mungkin begini memang takdirnya,” pikirnya pahit. “Yang lemah hanya bisa bekerja keras, sementara yang tak berhati tinggal mengambil hasilnya.” Hutan, sawah, bahkan hidup, semuanya punya cerita yang sama: yang kecil hanya bisa menyerah pada yang besar.

Ketika ia mulai merasa lebih tenang, dari kejauhan, Jaka mendengar suara langkah-langkah ringan di antara dedaunan kering. Jaka segera berjaga, takut Ombal dan Logam kembali menghampirinya. Namun, suara itu berbeda—lebih pelan, lebih ragu-ragu.

Dari balik semak belukar, muncullah seorang lelaki tua dengan tongkat kayu di tangannya. Rambutnya putih dan wajahnya dipenuhi keriput, namun matanya bersinar tajam, penuh kebijaksanaan. Lelaki itu tersenyum kecil ketika melihat Jaka.

“Kamu tampak lelah, anak muda,” kata lelaki tua itu dengan suara lembut. “Apa yang membawamu ke sini?”

Jaka memandang lelaki tua itu dengan ragu. Ia merasa tidak ingin diganggu, tetapi ada sesuatu dalam tatapan lelaki itu yang membuatnya merasa ingin berbicara. Sesuatu yang lembut, seolah mengerti kesedihan yang tengah ia rasakan. Jaka menghela napas panjang dan akhirnya memutuskan untuk berbicara.

“Aku hanya mencari madu,” kata Jaka dengan suara yang sedikit serak. “Tapi dua orang dari desa merebutnya dariku. Mereka lebih kuat, dan aku tak ingin bertarung.”

Lelaki tua itu mengangguk pelan, seakan memahami apa yang Jaka rasakan. Ia duduk di sampingnya tanpa berkata apa-apa, memberikan ruang bagi Jaka untuk melanjutkan jika ia ingin. Jaka pun melanjutkan, perasaannya sedikit lebih ringan karena ada seseorang yang mendengarkannya.

“Kadang aku merasa hidup ini begitu sulit,” lanjut Jaka, matanya menatap tanah. “Aku bekerja keras di sawah, berjuang mencari sesuatu yang bisa membuat hidup kami lebih baik. Tapi setiap kali aku merasa dekat dengan harapan, selalu ada saja yang menghalangi.”

Lelaki tua itu menghela napas perlahan, matanya menatap Jaka dengan penuh perhatian. “Kehidupan memang seperti itu, anak muda,” katanya dengan bijaksana. “Kadang kita merasa berjuang keras, tapi hasilnya tak sesuai harapan. Namun, itu bukan berarti kita harus berhenti. Justru, ketika kita merasa lelah dan terpuruk, itulah saat yang paling penting untuk menemukan siapa diri kita sebenarnya.”

Jaka menoleh ke arah lelaki tua itu, bingung. “Lalu, apa yang harus aku lakukan? Aku sudah memberi mereka madu itu. Apa aku salah?”

Lelaki tua itu tersenyum tipis, kemudian berkata, “Kebaikanmu tidak akan sia-sia, meskipun tidak terlihat sekarang. Kadang, kita memberi bukan karena kita lemah, tapi karena kita tahu bahwa ada hal-hal yang lebih besar dari sekadar pertarungan atau keuntungan pribadi.”

Jaka terdiam, meresapi kata-kata lelaki tua itu. Ia mulai merasakan sesuatu yang lain, perasaan yang tidak sepenuhnya bisa dijelaskan, tetapi memberi sedikit kedamaian di dalam hatinya. Lelaki tua itu melanjutkan dengan suara pelan.

“Jangan terlalu keras pada dirimu. Setiap jalan memiliki tantangannya, dan kadang kita harus mundur untuk melihat lebih jelas. Madu itu bisa dicari lagi. Tetapi jangan biarkan hatimu menjadi pahit.”

Jaka mengangguk pelan, merasakan sesuatu yang berbeda dalam hatinya. Meskipun ia masih merasa kecewa dan perasaan itu belum sepenuhnya hilang, kata-kata lelaki tua itu memberi sedikit kedamaian.

“Terima kasih,” kata Jaka, meskipun ia merasa kata-kata itu tidak cukup untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan.

Lelaki tua itu mengangguk sekali lagi, lalu berdiri perlahan. “Jangan lupa, anak muda,” katanya sambil tersenyum, “kadang, yang kita butuhkan hanyalah waktu untuk merenung dan menerima kenyataan. Dunia ini penuh dengan kemungkinan baru. Teruslah berjalan.”

Jaka menyaksikan lelaki itu berjalan pergi, kembali ke dalam hutan yang lebih dalam. Ia tetap duduk sejenak di bawah pohon rindang itu, meresapi kata-kata yang baru saja didengarnya. Madu mungkin telah hilang, tetapi dalam hati Jaka, sebuah pemahaman baru mulai tumbuh—bahwa hidup lebih dari sekadar pertarungan untuk bertahan hidup, dan bahwa terkadang menyerah untuk melangkah maju bisa membawa kedamaian yang lebih besar.

Saat Jaka memperhatikan langkah lelaki tua itu yang semakin menjauh, matanya tertuju pada sesuatu yang membuat hatinya berdebar. Di sebuah ranting yang lebih tinggi dari tempat ia berdiri, ada dua buah madu bergelantungan dengan warna keemasan yang menggoda. Mereka tampak begitu sempurna, terjaga dengan rapat di antara dedaunan yang lebat. Hati Jaka seketika bergejolak.

Ia melangkah perlahan menuju pohon tempat madu itu bergelantungan. Setiap langkahnya semakin mantap, berusaha mengabaikan perasaan kecewa yang sempat menghampirinya ketika melihat lelaki tua itu berhenti tadi. Keinginan untuk mendapatkan madu itu kini lebih besar dari sebelumnya. “Ini bisa membawa pulang lebih banyak untuk keluargaku,” pikirnya dalam hati, mencoba mengalihkan pikirannya dari kejadian sebelumnya.

Madu yang tergantung itu tampak begitu dekat, namun Jaka harus memanjat sedikit lebih tinggi untuk mencapainya. Dengan cekatan, ia mendekat, memegang batang pohon yang kokoh dan mulai mendaki. Di setiap langkahnya, tubuhnya yang kekar, meski penuh keletihan, masih mampu mendaki dengan sigap. Perasaan Jaka mulai berubah—dari rasa kecewa menjadi tekad yang kuat. Madu itu kini menjadi simbol kemenangan kecilnya atas hari yang penuh ketegangan.

Setelah beberapa langkah, ia akhirnya mencapai cabang yang cukup dekat dengan madu itu. Dengan tangan yang sedikit gemetar karena kegembiraan, ia menggenggam madu itu dan menurunkannya dengan hati-hati. Dua buah madu itu kini berada di tangannya, keindahannya hampir membuat Jaka melupakan semua rasa lelah yang ada di tubuhnya.

Jaka tersenyum puas, tak lagi merasa khawatir dengan apa yang telah terjadi sebelumnya. Madu ini adalah miliknya, bukan karena ia merebutnya dari orang lain, tetapi karena ia berhasil menemukannya dengan usaha dan ketekunan sendiri. Madu ini adalah hadiah dari alam yang ia perjuangkan, dan Jaka merasa bangga dengan pencapaiannya.

Dengan hati yang penuh rasa syukur, Jaka menuruni pohon dan memulai langkahnya untuk kembali pulang. Kini, ia merasa lebih siap menghadapi apa pun yang menantinya. Tidak ada lagi perasaan kecewa yang mengganggu, hanya kegembiraan yang sederhana—kembali ke rumah dengan membawa hasil jerih payah yang dapat memberi kebahagiaan pada keluarganya.

Setelah mengambil madu itu, Jaka melangkah dengan cepat. Pulang dengan hati yang sangat gembira. Langkahnya terasa ringan, meskipun terik matahari siang semakin menyengat kulitnya. Ia terus berjalan, dengan harapan tidak akan bertemu dengan Ombal dan Logam, laki-laki yang tidak punya rasa malu itu.

Jaka melewati jalan setapak dan aroma tanah serta dedaunan basah dari embun dedaunan. Sesekali, ia memandang langit biru yang terhampar luas, merasakan kedamaian dalam kesendirian ini. Ia tak sabar untuk kembali ke rumah dan melihat Rina serta kedua anaknya.

Begitu sampai di depan rumah, Jaka disambut oleh Rina yang sedang duduk di beranda yang sambil menggendong anak perempuannya. Rina sangat senang melihat wajah Jaka yang pulang dari hutan dengan wajah yang berseri-seri, seperti matahari terbit yang tersenyum di ufuk timur di balik gunung.

Jaka menyodorkan madu itu pada Rina dan anak-anak mereka. “Mari kita nikmati bersama,” katanya, merasa damai. Semua merasa seolah segala yang lelah dan sulit dihadapi sebelumnya menjadi terasa ringan, seiring dengan kebersamaan yang terjalin di bawah terik matahari siang itu.Jaka tidak menceritakan apa yang terjadi di hutan. Ia menutup rapat mulutnya untuk hal itu. Ia hanya memberi senyum kepada istri dan anak-anaknya. Biarlah yang pahit, ia sendiri yang menelannya. Biarlah istri dan anak-anaknya menelan yang manis.

Mereka duduk bersama di beranda rumah, menikmati madu yang manis, dan saling bercerita tentang hari mereka. Jaka merasa begitu beruntung. Madu itu bukan hanya untuk memenuhi perut, tetapi juga menjadi lambang dari kesabaran dan keberanian yang akhirnya membuahkan hasil yang memuaskan. Ia tahu bahwa, meskipun kehidupan kadang menghadirkan rintangan, ada kebahagiaan dalam setiap usaha yang dilakukan dengan tulus.

“Darimana kamu dapatkan madu sebanyak ini?” tanya istrinya.

“Madu ini bergelantungan di dahan yang tidak terlalu tinggi. Tempatnya agak jauh ke dalam,” jelas Jaka dengan nada yang riang wajah berseri, sambil mencicipi madu.

Setelah menikmati madu yang manis secukupnya bersama keluarganya, Jaka melihat kembali dua buah madu yang tersisa. Ia memandang madu itu dengan penuh perhatian, seolah merasakan potensi yang tersembunyi di dalamnya. Hatinya kemudian tergerak untuk berpikir lebih jauh tentang apa yang bisa dilakukan dengan madu tersebut.

“Rina,” kata Jaka dengan suara lembut, tapi kali ini nadanya penuh keyakinan, seperti ia telah memikirkan segalanya. “Aku pikir kita bisa menjual madu ini kepada warga di kampung. Beberapa orang mungkin membutuhkannya, dan kita bisa mendapat sedikit uang tambahan.”

Rina memandang suaminya dengan tatapan heran, seolah-olah ide itu datang dari orang lain, bukan Jaka yang dikenalnya. Namun, senyum kecil muncul di wajahnya. “Jadi, kita akan menjual madu ini? Bukankah itu hasil dari hutan yang kau dapatkan dengan susah payah?” tanyanya, masih ragu-ragu.

Jaka mengangguk pelan. “Ya, memang. Tapi aku pikir ini adalah peluang, Rina. Kita tidak bisa terus bergantung pada sawah. Lihatlah, padi itu mulai lemah gulai, hama sudah menyerang. Hasilnya tidak cukup untuk kita.”

Ia mengalihkan pandangan ke sawah yang ia maksud, tanahnya yang retak terlihat seperti simbol dari harapan yang mulai memudar. “Dengan menjual madu ini, kita bisa membeli pupuk dan obat-obatan untuk sawah. Mungkin ini cara kita bertahan,” tambahnya, sambil menatap istrinya dengan tatapan penuh harap.

Namun, Rina menggeleng pelan. Ada kekhawatiran di matanya. “Jaka, di hutan itu berbahaya. Banyak binatang buas, dan kau tahu sendiri jalannya penuh dengan duri dan jebakan. Bagaimana kalau kau tersesat? Atau… bagaimana kalau sesuatu yang buruk terjadi?”

Jaka tersenyum kecil, mencoba menenangkan istrinya, meski ia tahu kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Tapi sebelum ia sempat menjawab, Rina melanjutkan, kali ini nadanya bercampur dengan sedikit olokan yang manis. “Dan sejak kapan pula kau jadi ahli memanjat pohon besar dan tinggi? Kalau jatuh, apa kau pikir madu itu akan menyelamatkanmu?”

Jaka tertawa kecil mendengar candaan istrinya, meski di balik tawa itu, ia tahu tantangan yang harus dihadapi memang berat. “Kita tidak tahu sampai kita mencobanya, Rina. Lagipula, aku melakukannya bukan hanya untuk kita. Ini untuk masa depan, untuk sesuatu yang lebih baik. Aku yakin kita bisa melakukannya bersama.”

Rina hanya bisa menghela napas panjang. Dalam hatinya, ia mengagumi keyakinan suaminya, meski kekhawatirannya belum sepenuhnya hilang. “Baiklah, Jaka. Tapi kau harus berhati-hati. Kalau ada apa-apa, siapa yang akan menemaniku menunggu padi yang tidak kunjung tumbuh itu?” katanya, mencoba menyembunyikan rasa takutnya dengan lelucon kecil.

Rina berpikir sejenak, lalu mengangguk pelan. “Baiklah, aku akan menyimpannya. Jika itu yang kau inginkan, aku akan bantu menjualkannya kepada warga,” lanjut Rina.

Jaka merasa lega mendengar persetujuan istrinya. Meskipun Rina masih menyimpan sedikit kekhawatiran, ia tahu bahwa di balik segala keraguannya, istrinya selalu mendukung apa pun yang ia lakukan. Jaka menatap kedua wadah madu itu dengan senyum kecil, merasa keputusan ini adalah langkah baru yang bisa membawa harapan bagi keluarganya.

“Kita akan menjualnya di hari pasar,” katanya, matanya berbinar penuh semangat. “Kita akan menyimpannya dalam botol-botol bekas minuman orang kota. Mereka selalu suka hal-hal yang terlihat rapi dan menarik.”

Rina tertawa kecil mendengar rencana itu. “Tapi, Jaka, kita tidak punya botol-botol itu di pondok ini. Apa kau mau menyimpan madu di dalam tempayan?” katanya dengan nada setengah bercanda.

Jaka tidak terpengaruh. Ia tahu setiap rencana butuh upaya, dan ia sudah siap untuk itu. “Aku akan memintanya dari orang-orang di kampung sebelah. Mereka pasti punya botol bekas yang tidak terpakai. Kalau perlu, aku akan tukar dengan buah pisang atau pepaya.”

Rina menggeleng pelan, senyumnya mengembang sedikit lebih lebar kali ini. “Kau memang tak pernah kehabisan akal, Jaka. Tapi hati-hati, jangan sampai kau pulang hanya dengan botol kosong dan tidak ada madu untuk dijual.”

Jaka tertawa mendengar canda istrinya. “Jangan khawatir, Rina. Kalau aku tidak menemukan botol, aku akan bawa madu ini langsung ke pasar dengan wadah bambu. Mungkin malah lebih menarik—orang itu suka dengan apa saja yang terlihat alami.”

Rina hanya bisa tersenyum, membiarkan semangat Jaka menyelimuti kekhawatirannya. Ia tahu, meskipun perjalanan ini belum tentu mulus, Jaka tidak akan pernah menyerah. Bagi mereka, setiap langkah adalah bagian dari perjuangan yang tak berujung, sebuah upaya untuk mengubah sedikit demi sedikit nasib mereka di tengah kerasnya hidup di desa.

Esoknya, Jaka bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah memberi makan ayam dan memastikan Rina tidak keberatan dengan rencananya, ia memulai perjalanan menuju kampung sebelah. Langkahnya mantap, meskipun ia tahu perjalanan ini tidak sepenuhnya biasa.

Jaka mengetuk pintu rumah pertama dengan senyum ramah yang biasa ia tunjukkan. “Permisi, Pak, Bu. Apakah kalian punya botol kosong yang sudah tidak dipakai?” tanyanya dengan nada sopan.

Orang-orang kampung awalnya tampak bingung. Beberapa mengernyit, mencoba memahami apa yang sebenarnya dilakukan oleh Jaka. “Untuk apa kau butuh botol kosong, Jaka? Apa kau mau membuat ramuan ajaib?” salah seorang warga bercanda.

Jaka hanya tertawa kecil. “Tidak, Pak. Aku mau mengisi botol-botol ini untuk kuisi dengan air.”

Hari itu, Jaka berhasil mengumpulkan lebih dari cukup botol bekas. Orang-orang yang tadinya heran akhirnya memberikannya dengan senang hati, mungkin karena semangat Jaka menular, atau mungkin karena mereka penasaran apakah rencana ini benar-benar akan berhasil.

Jaka menyimpan botol-botol itu ke dalam karung tua yang ia bawa, wajahnya berseri-seri. Ia tahu ini baru langkah awal, tapi ia merasa optimis. Dalam hati, ia berkata pada dirinya sendiri, “Langkah kecil ini mungkin terlihat aneh bagi orang lain, tapi siapa tahu? Mungkin ini bisa menjadi awal yang baik untuk keluarga kami.”

Saat kembali ke rumah, orang-orang kampung tetap membicarakannya. “Jaka itu memang aneh,” kata salah seorang. “Tapi mungkin dia punya ide yang lebih besar dari yang kita bayangkan.”

Dan bagi Jaka, anggapan itu adalah sesuatu yang ia terima dengan senyum kecil. Toh, setiap perubahan selalu dimulai dari sesuatu yang tampak mustahil, bukan?

Jaka kembali ke rumah dengan wajah berseri-seri. Di tangannya, ia membawa karung penuh botol-botol bekas, hasil dari perjalanan panjangnya ke kampung sebelah. Sesampainya di rumah, Rina menyambutnya di depan pintu.

“Kau benar-benar membawa banyak botol, Jaka!” kata Rina sambil tersenyum, wajahnya tampak cerah melihat keberhasilan kecil suaminya.

“Orang-orang di kampung sebelah cukup baik,” jawab Jaka dengan nada penuh syukur. “Mereka memberikannya tanpa banyak tanya, meskipun sebagian tampak heran dengan apa yang sedang kita lakukan.”

Rina mengangguk sambil memeriksa isi karung itu. Botol-botol dengan berbagai bentuk dan ukuran memenuhi karung tersebut. “Ini lebih dari cukup,” katanya sambil mengambil beberapa botol untuk diperiksa lebih dekat. “Aku akan membersihkannya di sungai. Botol-botol ini harus terlihat bersih sebelum kita isi dengan madu.”

Tanpa membuang waktu, Rina membawa botol-botol itu ke pinggiran sungai. Dengan cekatan, ia mulai membersihkan botol satu per satu, menggunakan pasir halus sebagai penggosok dan air sungai yang jernih untuk membilas. Tangan-tangannya yang sudah terbiasa bekerja keras bergerak lincah, seolah ini adalah pekerjaan yang sudah ia lakukan berulang kali.

Jaka duduk di dekatnya, memperhatikan istrinya yang sibuk bekerja. Ia merasa lega, bahkan sedikit bangga. “Rina,” katanya, memecah keheningan. “Aku rasa ini langkah yang baik untuk kita. Kita tidak hanya bergantung pada sawah lagi. Mungkin ini awal dari sesuatu yang lebih besar.”

Rina menoleh, senyumnya tipis tapi tulus. “Aku percaya padamu, Jaka. Selama kita bekerja bersama, aku yakin semuanya akan baik-baik saja.”

Saat matahari mulai condong ke barat, botol-botol itu selesai dibersihkan. Rina menatanya di bawah sinar matahari untuk dikeringkan. Keduanya merasa puas dengan persiapan mereka. Kini, tinggal menunggu hari pasar tiba, saat di mana mereka akan mencoba peruntungan baru dengan menjual madu dalam botol-botol bekas ini.

Pada malam yang sunyi, di tengah desakan kenyataan hidup yang keras, Rina mulai menuangkan madu ke dalam botol-botol bekas itu. Madu yang dihasilkan dari kerja keras Jaka, yang telah berhari-hari berjuang melawan segala macam ancaman hutan dan binatang buas, kini terperangkap dalam empat botol sempit. Tentu saja, ini bukanlah jumlah yang luar biasa. Hanya empat botol, seperti impian mereka yang juga terperangkap dalam jumlah kecil dan terbatas. Namun, cukup untuk memberi harapan—atau lebih tepatnya, cukup untuk membuat mereka merasa seperti ada yang sedang dilakukan, meskipun hanya sedikit.

Rina menatap botol-botol itu, seakan mereka adalah hadiah besar yang telah mereka perjuangkan. “Empat botol,” katanya, hampir seperti merenung. “Memang sedikit, tapi ini adalah awal yang besar, bukan?”

Jaka, yang duduk dengan kaki berselonjor, mengangkat alis. “Empat botol,” ujarnya, “tapi lihatlah, Rina, kita bisa saja jadi kaya raya jika orang-orang di pasar tahu betapa ‘berharga’nya madu kita ini.”

Rina tertawa kecil, lebih karena kebiasaan daripada benar-benar merasa lucu. “Mungkin kita bisa menulis di label botolnya, ‘madu langka, hanya untuk orang-orang terpilih’. Mungkin itu bisa membuat mereka tertarik.”

Jaka menyeringai. “Tentu saja! Siapa yang tidak ingin membeli sesuatu yang langka, meskipun itu hanya sedikit saja.” Ia melihat botol-botol itu, seakan-akan mereka bisa bertransformasi menjadi emas hanya karena dia berkata begitu.

Tapi, tak ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa madu ini adalah satu-satunya harapan mereka, dan harapan itu dimasukkan ke dalam botol-botol bekas, seperti sesuatu yang pernah dianggap tak bernilai, kini dipaksakan untuk menjadi sesuatu yang penting.

Malam itu, di tengah keheningan, mereka menatap empat botol itu dengan penuh keyakinan—yakin bahwa meski jumlahnya sedikit, mereka bisa menjualnya seharga emas. Dan jika tidak, mereka masih bisa berharap ada keajaiban yang datang bersama hari pasar, seperti malaikat yang selalu tahu kapan harus turun dari langit.

Pada hari pasar itu, Jaka dan Rina berjalan dengan langkah yang penuh harap, melewati bukit-bukit yang tak pernah kenal ampun, membawa beban yang lebih dari sekadar fisik. Jaka memikul empat botol madu tanpa label, botol-botol yang tak lebih dari sekadar wadah kosong—terlihat seperti barang murah yang tak ada bedanya dengan sampah. Botol-botol itu mungkin tak punya identitas atau pembeda apa pun, tetapi bagi mereka, botol-botol itu adalah harapan yang dikemas dalam bentuk yang paling sederhana.

Rina menggendong anak bungsu, dengan wajah yang dipenuhi kelelahan yang tak terucapkan. Mereka sampai di pasar, tempat segala sesuatu diperdagangkan—baik yang bernilai tinggi maupun yang tak bernilai sama sekali. Tanpa label, tanpa penawaran menggiurkan, Jaka hanya bisa berharap orang-orang akan melihat lebih dari sekadar botol bekas minuman yang berisi madu yang didapat dengan susah payah.

Ia mulai menawarkan madu itu dengan kata-kata yang sederhana. “Madu, dari hutan, alami,” katanya, seakan-akan itu bisa menjelaskan seluruh dunia dalam satu kalimat pendek. Orang-orang yang lewat melirik sekilas, beberapa tertarik, beberapa malah melengos pergi. Tapi, entah bagaimana, botol-botol itu—tanpa label, tanpa janji manis—ternyata terjual satu demi satu. Madu yang tak dikenal, tak dipasarkan dengan cara yang canggih, akhirnya laku juga.

Jaka dan Rina, meskipun merasa sedikit tak percaya, akhirnya berhasil menjual semuanya. Uang yang mereka dapatkan tak banyak, tapi cukup untuk memberi mereka sesuatu yang jarang mereka nikmati: sedikit kebahagiaan dalam bentuk baju baru untuk anak-anak mereka. Sebuah baju yang akan mereka kenakan dengan bangga, meskipun itu tak akan mengubah keadaan hidup mereka yang tetap sederhana.

Botol-botol tanpa label itu, yang tak menyimpan keistimewaan apa pun selain kenangan dan kerja keras, kini menjadi lambang dari perjuangan mereka. Dan meskipun dunia terus berjalan dalam kebisuan, setidaknya hari itu mereka tahu bahwa tanpa label sekalipun, ada nilai yang bisa ditemukan, bahkan dalam hal-hal yang paling sederhana.

Setelah kembali ke rumah, Jaka dan Rina merasakan kebahagiaan yang sederhana namun mendalam. Anak-anak mereka, yang tak pernah menuntut lebih dari yang mereka miliki, terlihat ceria dengan baju baru yang mereka kenakan. Baju itu mungkin tak lebih dari kain biasa, tetapi bagi mereka, itu adalah simbol dari kemenangan kecil—sebuah bukti bahwa mereka bisa melakukan sesuatu yang lebih, meskipun dalam kesederhanaan yang mereka jalani.

Jaka merasa semangat baru mengalir dalam dirinya. Ia tahu, dunia ini tak pernah mudah untuk orang sepertinya, yang hidup di bawah bayang-bayang ketidakpastian. Namun, setelah hari itu—hari di mana madu tanpa label bisa terjual dan memberi mereka secercah harapan—Jaka merasa seperti ia bisa menghadapi dunia dengan cara yang berbeda.

Hari-hari berikutnya, Jaka kembali ke hutan, dengan penuh tekad yang menggebu. Tak ada lagi rasa takut atau keraguan yang menghantuinya. Ombal dan Logam—dua pencari madu yang sering kali mengambil keuntungan dari hutan yang sama, tanpa rasa malu—tak lagi membuatnya gentar. Mereka adalah bagian dari dunia yang keras, dunia yang hanya memberi sedikit ruang untuk yang lemah. Namun, kali ini, Jaka merasa berbeda. Ia tidak hanya berjuang untuk bertahan hidup; ia berjuang untuk mengubah nasib.

Madu yang ia kumpulkan bukan sekadar untuk dijual, tetapi sebagai simbol dari sesuatu yang lebih besar. Di hutan yang sama, di bawah pohon-pohon yang menjulang tinggi, Jaka tak lagi merasa dirinya seorang yang terpinggirkan. Ia siap untuk bertarung dengan Ombal dan Logam, siap untuk mempertahankan apa yang sudah menjadi miliknya. Dunia ini mungkin kejam, tetapi Jaka tahu bahwa meskipun tak ada yang bisa menjanjikan kemenangan, ia tak akan pernah berhenti berjuang.

Dengan semangat baru, Jaka melangkah lebih pasti, menatap hutan yang selama ini menjadi sahabat sekaligus musuh, dan dalam setiap langkahnya, ia tahu bahwa ia tak lagi sendiri.

Pada hari pasar itu, Jaka pergi seorang diri. Tidak ada Rina yang menemaninya, seperti biasanya. Sejak mulai mencari dan menjual madu, kehidupan mereka memang mulai berubah, meskipun perubahan itu terasa halus, seperti air yang mengalir perlahan, tapi pasti. Jaka tidak tahu apakah itu kebetulan atau keberuntungan, tetapi yang ia tahu, hari-hari mereka mulai dipenuhi dengan secercah harapan yang sebelumnya tidak mereka kenal.

Sambil memikul botol-botol madu, Jaka merenung. Ia menyadari sesuatu yang sederhana namun penting: kehidupan akan berubah jika kita bisa melakukan sesuatu yang tepat, sesuatu yang bisa menghasilkan. Selama ini, ia hanya mengandalkan pekerjaan di sawah, yang meskipun memberi mereka makan, tak pernah cukup untuk memberi mereka lebih. Tapi, madu—madu yang datang dari hutan yang tak pernah ia pandang lebih jauh—memberi Jaka pemahaman baru. Terkadang, yang dibutuhkan bukan hanya kerja keras, tetapi juga kecerdikan untuk menemukan peluang.

Jaka mengingat bagaimana ia harus melewati berbagai rintangan untuk mengumpulkan madu, bagaimana ia harus menghadapi ketakutannya dan persaingan dari orang-orang seperti Ombal dan Logam. Tetapi kini, setelah berhasil menjual madu mereka di pasar, ia merasa seperti menemukan pintu baru menuju kemungkinan yang lebih baik. Pekerjaan di sawah, meskipun tetap menjadi bagian dari hidupnya, bukanlah satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Jaka merasa bahwa ia bisa melakukan lebih, bahwa ia bisa mengubah arah hidupnya jika berani mencoba hal baru.

Di pasar, Jaka menawarkan madu dengan keyakinan yang lebih besar dari sebelumnya. Ia merasa bahwa setiap botol yang dijual bukan hanya soal uang, tetapi soal bukti bahwa mereka bisa bertahan dan berkembang. Tidak hanya itu, ia juga merasa bahwa perubahan itu bisa dimulai dari dirinya sendiri. Jika ia bisa melakukan sesuatu yang menguntungkan, maka hidup mereka bisa menjadi lebih baik.

Meskipun tidak ada Rina di sisinya hari itu, Jaka tahu bahwa langkah-langkah kecil ini akan membawa mereka pada kehidupan yang lebih cerah. Kehidupan memang tidak mudah, tetapi jika mereka bisa melakukan sesuatu yang tepat—meskipun itu hanya menjual madu dalam botol bekas—maka perubahan itu bukan lagi sekadar impian.

Jaka melangkah cepat, menahan napas saat melihat sarang madu yang mengkilap di bawah pohon besar. Ia mendekat dengan hati-hati, matanya memperhatikan setiap gerakan di sekitar sarang. Tanpa sengaja, ia menghembuskan udara dengan lembut ke arah sarang itu. Tiba-tiba, kawanan lebah madu yang sebelumnya tampak diam, mulai bergerak. Tetapi bukan keluar dari sarangnya seperti yang biasanya terjadi, kali ini mereka menjalar ke bawah, membentuk sebuah rantai panjang yang bergerak mengalir dari sarang, seperti tentakel yang siap menyerang.

Jaka merinding. Ia teringat akan cerita dari ayahnya tentang jenis madu yang berbahaya. “Jika sarang madu itu terganggu, mereka akan menyerang siapa saja tanpa ampun,” kata ayahnya dulu. Jaka tahu, jika ia terlalu lama dekat dengan sarang itu, lebah-lebah itu tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.

Dengan cepat, Jaka berbalik dan melangkah menjauh. Tanpa menoleh lagi ke arah sarang yang masih mengeluarkan gerakan-gerakan aneh itu, ia mempercepat langkahnya. Udara hutan terasa semakin pekat, dan setiap langkahnya dipenuhi kewaspadaan. Ia tahu, meskipun sarang itu menggoda untuk dipanen, bukan itu yang lebih penting. Jaka lebih memilih keselamatannya daripada sekadar memperoleh keuntungan sesaat dari madu yang berbahaya.

Langkahnya semakin cepat dan pasti, sementara suara gemerisik di belakangnya semakin menjauh. Jaka menegakkan tubuhnya, merasa bahwa keputusan untuk meninggalkan sarang itu adalah pilihan yang tepat. Dalam perjalanan pulang, ia merasa lega. Alam mengajarkan lebih banyak hal daripada yang bisa dipahami dalam sekejap. Ia memilih untuk mendengarkan petunjuk alam, bukan melawan kekuatannya.

Setelah beberapa langkah, Jaka berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. Ia menoleh ke arah asal langkah yang datang, dan mendengar suara langkah yang mengikutinya. Ternyata, itu adalah Ombal dan Logam. Mereka tampak tersenyum lebar, seolah bangga melihat sarang madu yang baru saja ditinggalkan oleh Jaka. Keduanya tertawa keras, penuh kemenangan.

Jaka mulai merasa khawatir. Jangan-jangan mereka akan mendekati sarang madu itu, pikirnya cemas. “Itu sangat berbahaya,” bisik Jaka dalam hati, semakin yakin bahwa mereka tidak tahu apa yang sedang mereka hadapi. Tanpa ragu, Jaka pun berlari kembali untuk menghentikan mereka.

“Jangan ganggu sarang madu itu! Itu sarang madu yang berbahaya!” seru Jaka dengan suara penuh peringatan, mencoba menahan langkah mereka.

“Logam, jangan hiraukan dia,” kata Ombal dengan angkuh. “Dia hanya takut kita mengambilnya.”

Meskipun sudah diperingatkan, Ombal dan Logam tetap melangkah mendekati sarang madu itu. Melihat mereka yang tidak menghiraukan peringatan, Jaka segera bergegas menjauh. Ia tahu betul apa yang akan terjadi jika mereka nekat mendekati sarang itu.

Tidak lama kemudian, Jaka mendengar teriakan dari arah belakang. Teriakan itu keras dan penuh kepanikan. Ombal dan Logam berlari terbirit-birit, dikejar oleh kawanan lebah yang tak henti-hentinya menyerang mereka. Jaka mempercepat langkahnya, berusaha menjauh dari mereka dan tetap aman.

Teriakan dan rintihan dari Ombal dan Logam terus terdengar, makin menjauh, sementara Jaka terus berjalan menjauh dari sumber kekacauan tersebut.

Tanpa menunggu lebih lama, Jaka berhenti sejenak dan mengambil korek api dari dalam saku celananya. Dengan sigap, ia mencari ranting kering di sekitarnya, lalu menyalakan api. Setelah api menyala, Jaka cepat-cepat mengambil daun-daun hijau dan menutupinya di atas api tersebut. Asap mulai mengepul ke atas, memberikan perlindungan dari serangan lebah yang ganas.

Asap membumbung tinggi, menyebar ke mana-mana seperti kabut tebal yang perlahan mengalir di antara pepohonan. Begitu kabut asap itu mulai menyebar, Jaka melangkah maju dengan hati-hati, semakin mendekati Ombal dan Logam yang masih terdengar merintih kesakitan. Jaka melihat keduanya tergeletak lemas di tanah, tubuh mereka penuh lebam dan luka karena lari terburu-buru dan terbentur pohon-pohon serta ranting-ranting.

Dengan hati-hati, Jaka mendekati Logam terlebih dahulu, tubuhnya masih dikerumuni oleh lebah-lebah yang marah. Tanpa berpikir panjang, Jaka menarik tubuh Logam dengan perlahan dan menyeretnya di atas tanah yang agak basah. Ia membawa Logam menuju sumber perapian yang sudah disiapkannya sebelumnya. Meski lebah-lebah itu masih mengejar mereka, asap tebal yang melayang di udara membuat mereka kehilangan jejak tubuh Logam dan Ombal.

Setelah berhasil membawa Logam ke tempat yang aman, Jaka segera berbalik dan melangkah menuju Ombal. Meski tubuh kedua laki-laki itu penuh luka dan lebam, Jaka tak merasa benci atau dendam. Ia tahu bahwa meski mereka telah menyakitinya di masa lalu, kali ini hidup mereka lebih penting daripada segala permusuhan. Dengan tekad yang bulat, Jaka menyeret tubuh Ombal, yang juga lemah dan terluka, menuju perapian yang telah ia buat.

Setiap langkah Jaka terasa berat, tapi ia tahu ia melakukan hal yang benar. Ombal dan Logam telah menyakitinya, namun kali ini ia memilih untuk melupakan kebencian itu. Meski mereka tidak pernah mendukungnya, meski mereka sering kali menjadi penghalang dalam hidupnya, Jaka tetap berusaha menyelamatkan mereka. Dalam hatinya, Jaka percaya bahwa menolong adalah tindakan yang lebih mulia daripada membalas dendam.

Setelah memastikan Ombal dan Logam berada di dekat perapian yang cukup aman dari kejaran lebah, Jaka memutuskan untuk meninggalkan mereka berdua. Ia tidak berkata apa-apa, hanya melangkah pergi dengan tenang, menyerahkan nasib mereka pada kesadaran dan keberuntungan masing-masing.

Jaka terus berjalan, menyusuri hutan dengan kewaspadaan. Ia kembali fokus pada tujuannya—mencari sarang madu. Hutan yang lebat dan penuh misteri tidak menghalangi semangatnya, meski hari itu terasa lebih berat dari biasanya. Langkahnya diiringi suara angin yang berdesir lembut di antara dedaunan, dan matahari yang perlahan mulai turun memberikan bayangan panjang di tanah.

Setelah seharian menyusuri hutan, menjelajahi setiap sudut yang mungkin menyimpan sarang madu, Jaka hanya menemukan satu sarang. Namun, baginya itu sudah cukup. Ia tahu bahwa keberuntungan kadang tidak datang sebanyak yang diharapkan, tapi kerja keras tetap harus dihargai. Dengan satu botol madu yang ia peroleh, Jaka merasa puas.

Saat matahari mulai condong ke barat, mengubah warna langit menjadi jingga keemasan, Jaka memutuskan untuk pulang. Dengan madu yang dipegangnya erat, ia melangkah menuju rumah, meninggalkan hutan yang semakin gelap di belakangnya. Di sepanjang perjalanan, ia merasa bersyukur atas apa yang ia peroleh hari itu—baik madu yang didapat maupun pelajaran tentang pentingnya kebaikan dan keberanian.

Saat Jaka tiba di rumah, ia terkejut melihat dua sosok yang sudah dikenalnya—Ombal dan Logam—berbaring lemah di samping pondoknya. Mereka terkulai di atas daun pisang yang dijadikan alas tidur, tubuh mereka tampak memar dan penuh bekas sengatan lebah. Rasa heran dan cemas menyelinap di hati Jaka. Ia segera melangkah masuk ke rumah, memastikan keadaan istri dan anak-anaknya.

Rina, istrinya, langsung menjelaskan, “Mereka datang beberapa saat sebelum kau tiba. Dengan suara lemah, mereka meminta izin untuk memotong daun pisang di sebelah rumah. Mereka bilang butuh tempat untuk berbaring karena tak sanggup berjalan lebih jauh.” Mendengar penjelasan itu, Jaka mengangguk kecil, lalu keluar menemui Ombal dan Logam.

Saat Logam menyadari kehadiran Jaka, Logam yang masih berbaring dengan susah payah bangkit dan bersujud di hadapannya. Dengan suara serak dan penuh penyesalan, Logam berkata, “Maafkan kami, Jaka. Atas segala perbuatan kami yang menyakitimu selama ini. Kami benar-benar menyesal.” Ombal yang berada di sebelahnya mengikuti, menunduk dengan wajah penuh lebam akibat sengatan lebah.

Logam melanjutkan, “Kalau bukan karena asap yang memenuhi hutan tadi, kami mungkin sudah mati di sana. Kau telah menyelamatkan nyawa kami, Jaka. Terima kasih, dan kami sungguh meminta maaf.”

Jaka menatap mereka sejenak, lalu menghela napas panjang. “Sudahlah,” katanya pelan. “Kalian butuh istirahat. Tidurlah di atas bale-bale pondok. Itu lebih nyaman daripada di tanah.”

Ombal dan Logam dengan susah payah mengangkat daun pisang yang menjadi alas tubuh mereka, lalu berbaring di atas bale-bale. Meski rasa sakit masih jelas terlihat di wajah mereka, mereka tampak lebih tenang. Hingga matahari benar-benar terbenam, Jaka tetap memeriksa keadaan mereka, memastikan mereka mendapatkan ketenangan di tengah rasa sakitnya.

Ketika malam tiba, Ombal dan Logam akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah mereka. Tubuh mereka masih lebam dan lemah, tapi mereka pergi dengan hati yang lebih ringan. Sebelum pergi, mereka sekali lagi mengucapkan terima kasih kepada Jaka atas kebaikannya. Jaka hanya tersenyum tipis, menyadari bahwa di balik segala kesalahan, selalu ada ruang untuk perubahan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Share via
Copy link